Minggu, 04 Maret 2012 , 08:07:00
SAMARINDA – Pemerintah diminta benar-benar melindungi petani yang bermitra dengan investor dalam megaproyek food estate. Rawan menjadi buruh tani, ketahanan dan kedaulatan pangan adalah taruhannya.
Menurut akademisi dari Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman, Ratna Shanti, food estate di Kaltim jangan sampai mengulangi kejadian-kejadian suram di perkebunan kelapa sawit. Pola kemitraan seperti perusahaan inti rakyat alias plasma, justru mengundang konflik seperti terjadi di Lampung dan Sumatera Selatan. “Itu karena petani hanya menjadi buruh. Tidak mendapat penghasilan yang sesuai serta tidak diberi kepemilikan terhadap lahan mereka,” sebut guru besar bidang ilmu tanah ini saat ditemui Sabtu (3/3).
Disampaikan, kendati bermitra dengan investor, bukan berarti petani dianggap buruh di tanahnya sendiri. “Petani pun tidak mesti menjual hasil panen kepada perusahaan. Jika harga di pasar lebih tinggi, petani berhak menjual kepada yang lain,” sebutnya. Dengan demikian, perusahaan betul-betul mempertimbangkan harga belinya.
Petani tak hanya dilibatkan dalam penanaman dan panen. Pascapanen, petani dapat terlibat dalam pengangkutan, penjemuran, dan sebagainya. Ini penting dalam menjaga sumber-sumber pemasukan bagi petani.
Peran pemerintah memberi regulasi kemitraan investor-petani, kata dosen lulusan Rijk University, Belgia, harus jelas. Di Bulungan, pemerintah berencana membangun jalan hingga pelabuhan untuk program food estate. Anggaran negara membangun fasilitas itu, tegas Ratna, jangan sampai hanya dinikmati investor.
Tentang “impor” petani dari provinsi lain juga harus diperhatikan. Di masa lalu, tak sedikit program transmigrasi yang salah sasaran. “Dulu ada transmigran yang tak bermental petani tetapi pengemis. Setelah dibiayai pemerintah setahun, mereka pulang lagi. Saya pikir pemerintah harus selektif mencari transmigran yang memiliki keahlian bertani,” tambahnya.
Sebagai informasi, megaproyek di Kaltim ini diperkirakan memerlukan 50 ribu tenaga kerja. Food estate masuk Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di mana pemerintah sudah mengidentifikasi 303 ribu hektare di sepuluh kabupaten di Kaltim.
Ratna terlibat dalam identifikasi ini. Spesialisasinya dalam ilmu tanah, membuat dia bersama Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kaltim meneliti potensi wilayah. Membaginya dari lahan kering, basah, sawah, sampai lahan yang cocok bagi palawija.
Menurut Ratna, program food estate akan percuma jika hanya mengejar produktivitas tanpa meningkatkan kesejahteraan petani. “Sekarang ini disebut-sebut krisis pangan karena kita dibiasakan makan nasi. Padahal, jika sumber karbohidrat bermacam-macam, krisis itu dengan mudah diatasi. Tapi sekarang, kita harus mencetak banyak sawah,” jelasnya.
Dia juga tidak sepakat dengan istilah yang sering digunakan sekarang ini: food estate dan rice estate. Dua istilah itu seolah-olah dua bagian terpisah. “Dalam food estate pasti ada rice estate. Beras adalah bagian dari pangan. Jadi tidak perlu lagi disebut rice estate,” jelasnya.
Kekhawatiran terhadap perlindungan petani, sudah beberapa kali disampaikan. Menanggapinya, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kaltim Rusmadi mengatakan, pemerintah sedang memantapkan detail pola investasi. Rusmadi menepis kekhawatiran investor hanya memanfaatkan lahan dan tenaga petani tanpa imbalan yang sesuai.
“Polanya begini, BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan investor memberi benih, petani menanam dan mendapat upah. Begitu panen, hasilnya pun dibeli petani. Jika panennya melebihi target akan dapat bonus,” jelas pria yang sebelumnya menjadi Dekan Fakultas Pertanian, Unmul ini.
Hasil panen itu dapat membentuk industri hilir dalam bidang pangan. Dukungan infrastruktur sangat diperlukan industri ini. “Jadi kalau petani sudah memiliki lahan, itu tetap menjadi miliknya dan mereka sendiri yang mengelola,” jelas dia. (fel)
Menurut akademisi dari Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman, Ratna Shanti, food estate di Kaltim jangan sampai mengulangi kejadian-kejadian suram di perkebunan kelapa sawit. Pola kemitraan seperti perusahaan inti rakyat alias plasma, justru mengundang konflik seperti terjadi di Lampung dan Sumatera Selatan. “Itu karena petani hanya menjadi buruh. Tidak mendapat penghasilan yang sesuai serta tidak diberi kepemilikan terhadap lahan mereka,” sebut guru besar bidang ilmu tanah ini saat ditemui Sabtu (3/3).
Disampaikan, kendati bermitra dengan investor, bukan berarti petani dianggap buruh di tanahnya sendiri. “Petani pun tidak mesti menjual hasil panen kepada perusahaan. Jika harga di pasar lebih tinggi, petani berhak menjual kepada yang lain,” sebutnya. Dengan demikian, perusahaan betul-betul mempertimbangkan harga belinya.
Petani tak hanya dilibatkan dalam penanaman dan panen. Pascapanen, petani dapat terlibat dalam pengangkutan, penjemuran, dan sebagainya. Ini penting dalam menjaga sumber-sumber pemasukan bagi petani.
Peran pemerintah memberi regulasi kemitraan investor-petani, kata dosen lulusan Rijk University, Belgia, harus jelas. Di Bulungan, pemerintah berencana membangun jalan hingga pelabuhan untuk program food estate. Anggaran negara membangun fasilitas itu, tegas Ratna, jangan sampai hanya dinikmati investor.
Tentang “impor” petani dari provinsi lain juga harus diperhatikan. Di masa lalu, tak sedikit program transmigrasi yang salah sasaran. “Dulu ada transmigran yang tak bermental petani tetapi pengemis. Setelah dibiayai pemerintah setahun, mereka pulang lagi. Saya pikir pemerintah harus selektif mencari transmigran yang memiliki keahlian bertani,” tambahnya.
Sebagai informasi, megaproyek di Kaltim ini diperkirakan memerlukan 50 ribu tenaga kerja. Food estate masuk Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di mana pemerintah sudah mengidentifikasi 303 ribu hektare di sepuluh kabupaten di Kaltim.
Ratna terlibat dalam identifikasi ini. Spesialisasinya dalam ilmu tanah, membuat dia bersama Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kaltim meneliti potensi wilayah. Membaginya dari lahan kering, basah, sawah, sampai lahan yang cocok bagi palawija.
Menurut Ratna, program food estate akan percuma jika hanya mengejar produktivitas tanpa meningkatkan kesejahteraan petani. “Sekarang ini disebut-sebut krisis pangan karena kita dibiasakan makan nasi. Padahal, jika sumber karbohidrat bermacam-macam, krisis itu dengan mudah diatasi. Tapi sekarang, kita harus mencetak banyak sawah,” jelasnya.
Dia juga tidak sepakat dengan istilah yang sering digunakan sekarang ini: food estate dan rice estate. Dua istilah itu seolah-olah dua bagian terpisah. “Dalam food estate pasti ada rice estate. Beras adalah bagian dari pangan. Jadi tidak perlu lagi disebut rice estate,” jelasnya.
Kekhawatiran terhadap perlindungan petani, sudah beberapa kali disampaikan. Menanggapinya, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kaltim Rusmadi mengatakan, pemerintah sedang memantapkan detail pola investasi. Rusmadi menepis kekhawatiran investor hanya memanfaatkan lahan dan tenaga petani tanpa imbalan yang sesuai.
“Polanya begini, BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan investor memberi benih, petani menanam dan mendapat upah. Begitu panen, hasilnya pun dibeli petani. Jika panennya melebihi target akan dapat bonus,” jelas pria yang sebelumnya menjadi Dekan Fakultas Pertanian, Unmul ini.
Hasil panen itu dapat membentuk industri hilir dalam bidang pangan. Dukungan infrastruktur sangat diperlukan industri ini. “Jadi kalau petani sudah memiliki lahan, itu tetap menjadi miliknya dan mereka sendiri yang mengelola,” jelas dia. (fel)
Betul betul betul...
BalasHapusHidup petani.....
Petani makmur rakyat juga sehat...
g kurang beras deh...
^_^